Selasa, 29 Maret 2011

Tiga Pesan Terakhir


Aku menggenggam erat jemarinya,kulit keriput dan tonjolan urat-urat yang makin mengendur tidak mengubah ingatanku akan tekstur dan lekuk bagian tangan itu.Matanya tak sedikitpun terbuka dan tak ada sinyal-sinyal kehidupan di raut wajahnya. Akan tetapi aku yakin ia masih menunggu saat yang tepat untuk menatap kembali wajahku...kekasih abadinya,seperti dulu. Ia selalu memberi kejutan berharga di sela-sela waktu yang tak pernah kuduga. Hal itulah yang membuat aku tidak bisa menjatuhkan pilihan kepada pria lain selain dirinya untuk kujadikan calon suami.Frasa "kekasih abadi " yang ditujukan kepadaku juga membuat aku ketagihan untuk selalu membuat pertemuan dengannya. Bagiku sebutan "kekasih abadi" itu setara dengan hadiah Taj Mahal yang diberikan Syah Jahan kepada permaisuri tercintanya yang bernama Muntaz Mahal,sebuah istana yang dihiasi batuan permata. Prasasti demi prasati kami bangun hingga pada suatu masa kami mengikrarkan janji untuk hidup bersama dalam sebuah pernikahan suci. Dalam perjalanan waktu,kami dikaruniai empat permata hati.
Lima belas menit berlalu,waktuku tersita hanya untuk memandangi sosok tak berdaya itu. Namun aku tak merasa sia-sia karena dengan begitu semangatku untuk terus mendampinginya bisa kubangun lagi. Aku akan menunggu sampi kapan pun. Seperti sebuah puisi yang pernah dibacakannya untukku,entah aku lupa puisi siapa itu...

Kunang-kunang itu berkerumunan di ujung-ujung jari tanganku
Menyebutkan ciuman terakhir sebelum terbang berkilau-kilau di udara
Kunang-kunang itu melanglang mencari sepasang matamu yang berada
Dalam sebuah pejam yang lain
Pejam yang telah lama direncanakan alam dan malam

Tertegun aku ketika itu,mendengar ucap lirih kalimat-kalimat puitis itu,meski dalam perjalanan waktu aku lebih banyak melakukan kesalahan demi kesalahan,,,menyia-nyiakannya, dalam keadaan yang paling parah...pernah aku merasa tidak mengiginkan dia berada di sisiku lagi. Akibatnya ia terbenam dalam tidurnya sampai saat ini.....aku menyesal.....
"Bunda...." Suara lembut itu memecah lamunanku. Aku terperanjat namun bisa mengendalikan diri. Gadis cantik berambut ikal itu melempar senyuman,namanya Maya,buah hati kedua kami. Ia putri satu-satunya,anak yang paling kusayangi. Paras ayahnya diwariskan semua pada gadis itu. Sungguh penjelmaan yang begitu sempurna. Mata tajamnya,garis wajah,rambutnya, semua menurun.
"Bunda...jangan memandangiku terus..." suara lembutnya kembali menyadarkanku.
"Bunda, makan dulu,biarkan aku yang menjaga Bapak." Ucapnya menyejukkan hatiku. Memang dia yang paling mengerti aku,paling dekat denganku. Aku bangkit dan melangkah mengikuti keinginannya,mencoba membuat hatinya lega.

Aku bersyukur bisa selamanya berdekatan dengan anak-anakku. semuanya bekerja di tempat aku bernaung saat ini,sebuah kota kecil yang menjanjikankehidupan bersahaja. Sejauh ini aku tidak pernah kesepian karena secara bergantian mereka selalu datang mengunjungiku atau sekedar bertemu walau hanya beberapa menit. Aku memahami kesibukan mereka. Di satu sisi aku merasa ada saja yang belum lengkap,aku lelah menikmati alur kehidupan tanpa kekasihku. Saat ini aku dekat dengan raganya tapi hati kami entah berada di beberapa puluh kilometer.
Aku sibuk bercakap-cakap dengan imajinasiku ketika tanpa kusadari, jemari kekasihku yang kudekap erat bergeser dari posisi semula. Ini artinya.....ada tanda-tanda dia akan kembali. Kulihat matanya terbuka dan menatapku. Aku terkesima dengan ucapannya..... keajaiban telah datang.
"Kekasihku.....iringi kepergianku tanpa air mata sebab aku tidak mau perjalananku terganggu oleh riak kesedihan."
"kekasihku....Terangi Jalan yang akan kulalui nanti dengan doa dan ketabahanmu sebab aku tidak ingin tersesat untuk sampai di tempat penantian."
"Kekasihku bila kau ingin bertemu denganku nanti...ikuti rute perjalanan yang telah kulalui."

Kemudian kuperhatikan matanya telah terpejam dan bibirnya menyunggingkan senyum. dia telah benar-benar pergi sekarang.... Aku sedih tetapi coba kucerna bait demi bait kata-kata pesannya. Bahwa aku tidak boleh menangis saat melepasnya pergi. Bahwa aku harus selalu berdoa dan tabah menghadapi apapun. Bahwa aku harus mengikuti amalan-amalan kebaikan yang dijalaninya selama ini hingga akhir hayatnya. Kutatap langit-langit rumah sakit tempat suamiku dirawat,untuk membendung air mata ini agar tidak menetes,sejenak namun penuh keyakinan...aku harus bisa. Lalu kucium keningnya untuk terakhir kalinya dengan mengucap sejuta ikrar kesetiaan dan sederet janji untuknya. Kemudian kudapati tubuhku telah berada dalam pelukan erat Maya,putriku, dengan isak tangis kehilangannya.

Cerita mini ini dibuat saat mengawas Ujian Sekolah di SMK PGRI 20 Jakarta
22 Maret 2011